Rabu, 19 September 2007

Timang Bubu yang nyaris hilang

Foto : Permainan Timang Bubu Oleh Masyarakat Kecamatan Tangaran Sambas.
Long Dolah-----Pawang Timang Bubu----by Endang.

Timang Bubu
Permainan Rakyat Sambas Pedalaman yang Nyaris Hilang

Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak

Balon-balon gelombang balon.............
Balon menempuh batang rasau.............
Bangun-bangun saudara bangun……..
Bangun tidur jangan meransau.............

Kalimat-kalimat tersebut meluncur dengan irama dari mulut seorang Long Dolah (73) pawang Timang Bubu. Jika dilihat dari rimanya, maka kalimat itu menyerupai pantun, namun sebenarnya kalimat itu adalah mantra pembuka yang diucapkan oleh sang pawang untuk memanggil bidadari.
Cukup panjang mantra yang diucapkan Long Dolah. Namun karena diucapkan dengan cepat dan menggunakan bahasa ’Sambas Pedalaman’ kata-katanya jadi sulit dicerna. Bukan saja oleh saya yang tidak banyak mengerti bahasa Sambas, tetapi mantra sang pawang juga sulit dimengerti oleh penutur bahasa Sambas.
Tak lama kemudian, bubu di tangan Ipul yang berada persis di depan Long Dolah bergerak. Ipul pemegang bubu adalah bagian dari permainan ini. Seluruhnya terdapat 5 orang pemain Timang Bubu, yaitu pawang yang membacakan mantra, pemegang bubu dan tiga orang pemukul gendang dan rebana, alat musik yang mengiringi permainan tersebut.
Seseorang berbisik kepada saya bahwa itu petanda bidadari yang dipanggil sudah datang.
Bidadari itu memang datang memenuhi panggilan pawang, masuk ke dalam bubu yang dipegang Ipul. Tetapi sosoknya tidak nampak. Hanya gerakan bubu yang teratur, makin lama makin cepat menjadi petanda bahwa bidadari sudah ada di dalamnya.
Nyiur Gading demikian nama bidadari itu, menurut Long Dolah berdiam di Kayangan. Meski jauh, bidadari siap datang apabila dipanggil. Kapanpun.
Sejak Long Dolah mempelajari Timang Bubu saat usianya masih muda, sejak itu dia dapat melakukan kontak dengan bidadari tersebut. Namun meski demikain dia mengaku belum pernah bertemu dengan wajah bidadari itu. ”Hanya cantik jak,” katanya ketika ditanya di sela-sela atraksi Timang Bubu saat menyambut kedatangan gubernur Kalbar Usman Ja’far dalam rangka menutup rangkaian kegiatan peringatan HUT RI yang ke-62 beberapa waktu lalu.

***

Timang bubu adalah permainan rakyat Sambas tepatnya dari desa Simpang Empat kecamatan Tangaran. Disebut Timang Bubu karena mantera yang diucapkan dalam ritual itu adalah berbentuk pujian –timang-timangan kepada bidadari Nyiur Gading. Sedangkan bubu adalah alat yang dipakai sebagai ’tempat’ singgah bidadari.
Bubu sendiri adalah sebuah alat yang umumnya digunakan masyarakat desa untuk menjebak ikan, baik di sungai atau pun rawa. Alat ini terbuat dari rotan dengan panjang kurang lebih 2 meter, bentuknya dibuat agak mengerucut. Sebenarnya ada dua lobang pada bubu ini, namun lubang yang lebih kecil di bagian puncak kerucut bubu ini ditutup dengan irisan bola yang dipotong setengah. Ibarat bubu penjebak ikan, irisan bola setengah yang terletak di ujung bubu itu dimaksudkan agar ikan tidak bisa keluar bila telah masuk bubu.
Melihat permainan ini sepintas orang berpikir bahwa Timang Bubu adalah ritual yang dilakukan oleh nelayan/pencari ikan untuk mendapatkan hasil ikan yang lebih banyak. Namun sebenarnya Timang Bubu adalah murni permainan rakyat yang kini sudah sulit untuk disaksikan.
Beberapa generasi dahulu permainan ini cukup populer di tengah masyarakat. Biasanya permainan Timang Bubu dipertontonkan saat ada pesta pernikahan. Karena cukup menarik perhatian pada generasi Long Dolah cukup banyak orang yang berminat belajar menguasai permainan tersebut.
Namun seperti diungkapkan Abdul Amin (56) tokoh masyarakat kecamatan Tangaran, tradisi permainan ini sekarang pun sudah nyaris hilang. ”Sudah jarang orang yang mau belajar permainan ini,” ungkapnya.

***

Ketika pertama kali mendengar permainan itu dimainkan, dari musik yang diperdengarkan memang ada kesan mistis di sana. Benar saja, karena dalam permainan itu memang dilibatkan mahkluk halus yang dalam bahasa Abdul Amin disebutnya sebagai bidadari.
”Timang bubu ini adalah budaya warisan yaitu untuk memanggil bidadari,” katanya.
Permainannya memang sangat sederhana. Seorang dari pemain memegang bubu. Setelah mantra di atas dibaca, rebana dan gendang dimainkan. Maka bubu pun bergoyang. Semakin panjang syair yang dibacakan, maka semakin cepat pula bubu itu bergoyang ke arah kanan dan kiri. Alunan gendang dan rebana yang mengikutinya juga semakin cepat. Sepintas jika dilihat, bubu itu seperti digoyangkan, padahal yang sebenarnya tidak.
”Bubu itu tidak digoyang oleh Ipul si pemegang bubu. Tapi yang mengoyangnya bidadari. Ipul hanya memegang saja supaya bisa terkendali,” ungkap Abdul Amin.
Timang Bubu sejatinya adalah permaian rakyat Sambas yang sering dipertontonkan pada acara pernikahan. Namun, kini semakin jarang dimainkan. Masyarakat lebih suka menggunakan band atau organ tunggal untuk hiburan pesta pernikahan atau sejenisnya. Hal ini pulalah yang menyebabkan permainan ini semakin jauh dari masyarakatnya.

***

Selain sebagai tontonan Timang Bubu juga bisa digunakan sebagai metode mencari barang yang hilang.
”Zaman dolo be, mun ade kejahatan misalnye ade yang kehilangan, Timang Bubu bisa jua untuk nemukan barang itok,” ungkap Long Dolah pemilik timang bubu.
Menurut Long Dolah dengan Timang Bubu ini bisa diketahui siapa yang mengambil barang yang hilang itu. Dengan bantuan pemegang bubu, maka bubu itu akan bergerak menuju sang ”pencuri”. Dalam ritualnya, kendati bubu dipegang oleh seseoramg, namun bubu tidak mungkin bergerak mengikuti keinginan si pemegang. Justru si pemegang bubulah yang mengikut gerak bubu tersebut.
Ritual mencari ”pencuri” dalam permainan timang bubu dimulai dengan membakar kemenyan. Kemenyan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk memanggil bidadari yang kemudian akan menjadi ”nyawa” bagi bubu.
Bila bidadari telah menjadi ”nyawa” bubu tersebut, maka akan dengan sendirinya bubu bergerak.
Menurut pria ini, syair-syair yang dibacakan adalah syair untuk memuji sang bidadari. Bahasa yang digunakan adalah bahasa masyarakat pedalaman Sambas. Bahasa yang kini menurutnya telah jarang digunakan lagi, bahkan arti dari tiap katanya juga mempunyai perbedaan dengan bahasa Sambas yang umum digunakan.

Ya...bombon......
Ya...lokan....
Ya....bombon....
Tatak lokan main bersari.........
Main jua main dipenudi...........
Selokan tempat menari.................

Long Dolah kembali melantunkan sebuah mantra permainan Timang Bubu. Namun kali ini bubu tidak sedang dimainkan. Bubu itu hanya diletakan di belakangnya. Terbungkus dengan kain hitam dan tak lagi digerakan. Menurut Long Dolah kini tidak banyak lagi orang Sambas khususnya masyarakat kecamatan Tangaran yang mau belajar tentang permainan ini. Kalaupun ada, belajarnya pun tidak tuntas. Karena menurutya untuk bisa menjadi pawang Timang Bubu tidak sembarang orang bisa melakukannya.
”Kalau hanya sekedar belajar syairnya mungkin bisa, tapi untuk bisa mempunyai bidadari yang bisa menjadi ”nyawa” bubu sampai sekarang ini belum ada,”
Dalam ungkapan Long Dolah tersirat makna, bahwa semakin lama permainan rakyat tersebut akan menghilang dan tidak lagi dikenali. Hal itu jelas tampak pada muka-muka pengunjung yang datang pada pertunjukan permaian timang bubu tersebut. Setiap mata pengunjung dengan seksama memperhatikan gerak bubu yang yang dipegang Ipul. Padahal jika diperhatikan dengan seksama, permainan itu monoton saja. Bubu yang dipegang Ipul bergerak ke sana ke mari. Ipul berusaha memegang bubu yang terus bergerak makin lama makin cepat.
Namun agaknya bukan gerakan itu yang menjadi perhatian penonton. Beberapa di antara mereka mengaku penasaran, ingin tahu seperti kesudahan permainan tersebut.
Seorang panitia, Sawitri yang juga seorang pengajar SMA di kecamatan Tangarang mengaku tidak tahu dengan permainan Timang Bubu itu. ”Walaupun saya lahir dan dibesarkan di Sambas, tapi saya tidak tahu banyak tentang permainan Timang Bubu itu,” katanya.
Alumni Fakultas Pertanian Untan ini juga mengakui bahwa permainan Timang Bubu memang jarang dipertunjukan lagi. Bahkan sampai usianya memasuki seperempat abad, seingatnya tidak lebih dari 5 kali ia melihat pertunjukan permainan itu.
Selain itu, permainan Timang Bubu juga memerlukan kemampuan khusus. Terutama bagi sang pawang, yang harus bisa mendatangkan dan mengembalikan bidadari ”nyawa” sang bubu.

Senin, 30 Juli 2007


Program Transmigrasi dengan kriteria 2 C dan 4 L

Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak.

Sekarang ini program transmigrasi dengan paradigma baru menempatkan pemerintah daerah dalam porsi pengambil kebijakan dalam menerapkan kriteria 2C dan 4L. Demikian diungkapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X di Kapuas Palace tadi malam.
Kriteria 2C dan 4L yang dimaksudkan oleh Gubernur DIY Yogyakarta itu adalah Clear and Clean serta layak huni, layak usaha, layak berkembang dan layak lingkungan.
”Apabila prinsip clear and clean itu tidak terjadi okupasi, baik secara sosial, kultural maupun lehal, dan memiliki produktivitas berkesinambungan untuk berusaha serta ramah lingkungan, dapat dipenuhi niscaya akan tercipta harmonisasi antara transmigran dan lingkungannya,” ungkapnya.
Sri sultan Hamengkubowo hadir dalam acara penganugerahan PATRI Award sebagai salah satu tokoh nasional serta mewakili salah satu daerah pengirim transmigran. Di awal-awal era otonomi, menurutnya bisa dimaklumi jika beberapa daerah menolak program transmigrasi ini. Mengingat saat itu timbul gejolak sosial antara pendatang dengan penduduk asli. Hal ini menurutnya nyaris menciderai persatuan bangsa yang dengan susah payah dibangun. Namun, saat ini menurutnya telah ahir kesadaran untuk kembali mendukung program transmigrasi dengan pertimbangan yang lebih bijaksana.
”Kini pembangunan transmigrasi bukan lagi didasarkan atas pendekatan philantropis dan charity, tetapi atas paradigma baru yang lebih relevan dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat.
Konsep transmigrasi mandiri sebuah konsep baru, menempatkan pertanian sebagai kegiatan utama. Pengelolaan SDA sesuai dengan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi merupakan konsep transmigrasi yang lebih baik.
Konsep ini menurut Raja di Yogyakarta ini lebih mengefektifkan fungsi kawasan transmigrasi sebagai kawasan penyangga pusat pertumbuhan. Hal ini bisa dilakukan dengan membangun akses yang menghubungkan kota-desa dan pemukiman transmigrasi. Berfungsinya kawasan penyangga ini berarti telah memberikan kontribusi pada upaya pembangunan dan pemberdayaan pedesaan. Selain itu dapat juga mencegah terjadinya urbanisasi karena adanya desentralisasi pembangunan.
Sultan juga yakin bahwa dengan semakin mantapnya otonomi daerah maka akan mempercepat pembangunan daerah serta strategi nasional untuk perluasan kesempatan kerja di sektor pertanian dan pengentasan kemiskinan.
”Pembangunan permukiman transmigrasi harus mampu mempercepat keharmonisan hubungan antar budaya. Sehingga potensi konflik dan disintegrasi dapat dieliminasi, ” pungkasnya. 




Kisah Anak Transmigran dari Papua

Dari Pembantu Rumah Tangga Hingga Kandidat Dekan

Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak

Penampilannya sederhana. Ia mengenakan kemeja lengan pendek. Sebuah tas hitam terjinjing di tangannya. Rambutnya belah samping. Sebuah kaca mata bening nangkring di hidungnya. Kaca mata itu makin membuatnya terlihat sederhana. Memang begitulah dia.

Namanya, FX. Soewarto, MS. Usianya 53 tahun. Ia putra transmigran asal Papua yang boleh dibilang sukses.

Ia datang ke Papua, ikut saudaranya setelah peristiwa Trikora, 1964. Waktu itu, namanya bukan transmigrasi. Tapi PP2SIB, kepanjangan dari Pelopor Perintis Pembangunan Serbaguna Irian Barat. Yang ikut program itu, sekitar 27 kepala keluarga.

Ia mengisahkan setelah Irian Barat di serahkan oleh Belanda kepada NKRI, pemerintah berusaha mempertahankannya. Salah satu bentuknya adalah dengan mengirimkan rakyat Indonesia dari tanah Jawa ke daerah yang kini disebut Papua.

Saat datang ke Papua, ia masih duduk di bangku SD. Alhasil, ia pun harus melanjutkan pendidikan dasarnya di Merauke. Ia tinggal di sana selama 43 tahun.

Sewaktu kuliah di S1, ia tinggal di asrama mahasiswa. Di asrama, ia membuat kebun sayur. Selain masak sendiri, kalau panen raya tiba, ia juga menjualnya. Hasilnya lumayan. Paling tidak, bisa untuk membeli buku.

Tak itu saja. Pria dari Wonogiri, Jawa Tengah, juga pernah menjadi pembantu rumah tangga. Hal itu dilakukannya, untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya pendidikannya.

Untuk pendidikannya sendiri, setelah menyelesaikan S1, ia berkesempatan menyelesaikan S2-nya di Universitas Indonesia, 1990. Kini, ia sedang menempuh pendidikan S3/doktoral di UI.

Soewarto tinggal di Jayapura, menjadi dosen. Kembali ke almamater, katanya. Kakek satu cucu ini, alumni FKIP Universitas Cendrawasih.

Menurutnya, semua pekerjaan bisa dikerjakan dengan baik. Pengangkatannya sebagai dosen pada 1983.

Ia berkata, untuk menjadi dosen seperti sekarang, bukan hal mudah. Ia harus harus berjuang. Sebelum menyelesaikan pendidikan sarjananya, ia bekerja sebagai asisten dosen di kampusnya. Pekerjaan itu berlanjut hingga kuliahnya selesai.

Setelah menikah tahun 80-an, ia menambah aktivitas pekerjaannya sebagai guru di SMA. Ia juga mengelola sebuah yayasan sosial dan manajemen, sekaligus dosen di sekolah tinggi.

Ditanya tentang perkembangan kehidupan transmigran di tanah Papua, ia mengatakan, untuk wilayah tertinggal kondisinya umumnya sama. Kalau masalah pendidikan, sekarang pemerintah telah mempunyai kebijakan pendidikan luar sekolah/PSL. Dengan PSL ini, anak Papua yang transmigran atau bukan, bisa mengenyam pendidikan.

Kendati dirinya seorang transmigran, namun ia cukup mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat. Terutama di kampus tempatnya mengajar. Setidaknya beberapa jabatan pernah diembannya. Antara lain, Kepala Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat (1994-1998). Ketua Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (1998-2006).

Di PATRI, ia dipercaya sebagai dewan pertimbangan DPD Papua, yang diketuai oleh Sekda setempat.

Ia juga dipercaya sebagai anggota dari Badan Pengembangan Universitas Cendrawasih Jayapura. Amanah yang dipikulnya bersama rekannya yang lain adalah, pengembangan kampus baik dari segi fisik, sumber daya manusia (SDM) dan kerjasama dengan pihak lain.

Menurut pria yang menyatakan, istilah transmigrasi baru dikenal 1966, ia selalu berbekal tiga hal dalam melakukan berbagai hal. Tiga hal tersebut adalah kerjasama, disiplin dan motivasi. Tiga hal ini sangat penting baginya.

Kini, ia telah merasakan manisnya perjuangan itu. Pada pemilihan Dekan FKIP nanti, ia yakin akan maju sebagai calon. “Pemilihan dekan mendatang, saya yakin akan daftar sebagai calon,” ucapnya dengan yakin.

Soewarto mengatakan, “Keberadaan anak transmigran di Papua cukup diperhitungkan.”□

Senin, 23 Juli 2007

Akademia Borneo Tribune

10 Akademia Tribune InstituteIstilah kami, para reporter Borneo Tribune adalah para akademia. Kenapa para akademia, karena skill atau keterampilan jurnalistik adalah applied science (ilmu terapan). Karena ilmu terapan, berarti taat azas akan teori-teori jurnalistik atau bahkan kampus jurnalistik. Untuk kampus jurnalistik Borneo Tribune kami beri nama Tribune Institute. Siapa saja para akademia yang bertugas mencari, mengolah dan mempresentasikan berita ke haribaan pembaca? Mereka adalah muda-mudi potensial dan bekerja atas daya nalar. Berdasarkan abjad nama berada di nomor urut satu adalah
Andry. Dia punya talenta di bidang politik, namun digadang-gadang pula ke hukum. Demikian karena politik dan hukum punya pertalian kisah yang erat. Bukankah tak jarang masalah-masalah politik yang pelik selalu bertalian dengan hukum, hukum dan hukum. Andry sendiri adalah sarjana ekonomi jebolan Universitas Panca Bhakti. Dia berpengalaman sebagai leader mahasiswa di kampus kuning UPB. Tepatnya sebagai Presiden Mahasiswa. Ia mantan aktivis kampus dan kini sedang menjadi akademia yang mentasbihkan dirinya sebagai aktivis pers seutuhnya di Kalbar. Ia di awal bulannya bekerja sudah harus menjejakkan kaki hingga Bumi Uncak Kapuas.
Nomor urut dua Arthurio Oktavianus. Ketika melamar di “The Next Newspaper need” (istilah yang kami gunakan dalam pariwara rekruetment calon reporter, red) dia sudah menunjukkan talenta yang tajam pada tulisan bergaya. Maksud kami narrative reporting. Ketika itu populer dalam pembicaraan para redaktur tulisannya berjudul Teh Poci.Pada tulisan Teh Poci itu nadanya mengalir dengan santai. Kita yang membaca seolah larut dalam Teh Poci. Teh Poci yang dijual di salah satu sudut pinggiran Kota Yogyakarta. Kota tempat di mana putra kelahiran Toho ini menyelesaikan sarjana strata satunya.Bahasa Inggris Arthur yang lancar amat sangat menolong prestasi akademisnya. Wajar jika dia harus meliput di Kuching, Sarawak, Malaysia.

Ketiga, Agus. Nama lengkapnya Herkulanus Agus.
Putra kelahiran Pancaroba ini sungguh nekat menjadi akademia Borneo Tribune dan “kuliah” di Tribune Institute. Dia bela-bela datang dari Sungai Ambawang distrik di mana dia kini menetap. “Bekal pengalaman kerja sebagai jurnalis beberapa waktu yang lalu ingin saya perdalam di sini. Abang-abang menjadi soko guru kami,” ungkapnya dalam testing calon reporter di Hotel Peony Maret silam. Kini Agus sudah melanglang buana dalam liputannya. Tak hanya di rubrik pendidikan, alumnus Fakultas Hukum Untan ini juga sudah menjejal ke Bengkayang.
Keempat, Budi Rahman. Orangnya kocak. Postur tubuhnya tinggi sehingga Jadi a ndalan Borneo Tribune untuk berbagai hal. Mulai dari olahraga di lapangan futzal hingga tentu saja menjolok buah. Baik buah rambutan—jika lagi musim—maupun memetik buah pikiran.Budi Rahman potensial dalam hal berpikir kreatif. Kawah candradimuka itu telah dia rasakan sejak menjadi Ketua Umum HMI Cabang Pontianak dan menyelesaikan kuliah formalnya di Fisipol Untan. Budaya diskusi dan baca menjadi peradabannya.Dengan talenta dan posturnya yang mendukung, Budi Rahman menempati posko utama di Pemprov Kalbar. Dia juga mesti keliling kabupaten sehingga dalam tempo 1,5 bulan wilayah Utara, Timur dan Selatan telah disisirnya.

Kelima, Endang Kusmiyati. Dalam hal praktek jurnalistik dia sudah cukup banyak makan asam garam. Selain aktivis pers kampus wanita berkerudung ini juga sudah pernah menjabat sebagai redaktur pelaksana di sebuah media lokal Kalbar.Alumni Fakultas Pertanian Untan ini menempati posko ekonomi. Namun karena kemampuannya bekerja cepat dia juga dipercayakan mengawal event besar seperti Indonesian Product Expo 2007 yang menjadi debutan Bakomapin Pemprov Kalbar.
Keenam, Hanoto. Dari penampilannya yang berkacamata wajah
gantengnya kian kentara. Wajarlah dalam waktu super singkat alumni. Fisipol ini sudah menjadi idola banyak akademia. Barangkali berkat modal ini pulalah dia mudah mengembangkan jejaring informasi sehingga mendukung posko liputannya.Hanoto yang keluarganya tergolong aktivis akademis adalah tipikal pekerja keras. Saking kerasnya, memanjat pohon pun dia lakukan demi Borneo Tribune. Tepatnya ketika Borneo Tribune jor-joran pasang spanduk menjelang launching awal Mei lalu.
Ketujuh, Johan Wahyudi. Alumnus Universitas Muhammadiyah Pontianak ini semu la adalah guru. Dia berkeluh-kesah menjadi guru yang hanya berhadapan dengan 40-an siswa di dalam kelas. Dia rupanya ingin menjadi guru yang lebih besar. Koran adalah tempat yang tepat menurutnya.Johan Wahyudi yang memang nama atlet pebulutangkis gaek di bawah eranya Liem Swie King mengasah talentanya di bidang keolahragaan. Tapi dasar mau menjadi guru yang lebih luas, putra kelahiran Pinyuh ini pun selalu kreatif menulis lepas. Lepas dari pakem olahraga seperti humaniora dan politika.
Kedelapan, Maulisa. Sapaan si kecil mungil ini Icha. Tulisannya amat bergaya sastra. Aklamasilah dewan redaksi menempatkan alumnus Fakultas Pertanian Untan ini ke penulisan panjang Filantropi. Tak urung tulisan-tulisannya segera mendapatkan respon dari pembaca. Salah satu cerpennya yang ditanggapi secara akademis oleh Doktor Sastra, Dedi Ari Asfar adalah Bidadari.
Kesembilan, Mujidi. Sejak di kampus STAIN jurusan KPI, pendidikan fo rmal jurnalistik memang pilihannya. Ia merasa ilmu tak berguna jika tidak dipraktikkan, maka salah seorang pengasuh pondok pesantren ini memilih Borneo Tribune untuk menjadi akademia Tribune Institue. Karirnya pun meroket. Setelah mengobok-obok Kota Pontianak dia membawa pengalamannya ke Kota Singkawang.
Kesepuluh, Yulan Mirza. Putra kelahiran Jakarta yang menamatkan pendidikannya di Fisipol Untan ini gandrung pada liputan-liputan kriminal. Cuma sayang, di Borneo Tribune tak mengakomodir kekerasan atau brutalisme untuk diekspose. Tulisan-tulisan faktual kriminalitas lebih diarahkan pada sentuhan rasa kemanusiaan.Kami sepakat liputan itu dinobatkan sebagai humaniora. Borneo Tribune dengan Tribune Institutenya hendak menjadi media pendidikan yang humanis. Sebab hidup itu memang manis. Kadang-kadang seperti lirik lagu Slank, “Terlalu manis...untuk dilupakan.”Akhir kata, ingin kami sampaikan bahwa memberitakan 10 akademia di atas bukanlah untuk narsis, melainkan agar narasumber atau mitra Borneo Tribune dapat mengenal mereka secara jelas. Mereka juga dalam menjalankan tugas jurnalistik dibekali identitas yang jelas. Sejauh ini ada oknum tidak bertanggung jawab dan mengatasnamakan Borneo Tribune. Kami akan sangat senang jika oknum seperti itu dilaporkan saja ke polisi. □

Akademia Borneo Tribune

Jumat, 22 Juni 2007


Derita itu berawal dari Konflik

Mau Sekolah, Makan Saja Susah
* Tragedi Kemanusiaan itu Sudah 10 Tahun

Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak

Setelah 10 tahun merasa ditelantarkan, ratusan eks pengungsi korban konflik horizontal 1996-1997 kembali menuntut haknya. Sedikitnya warga dari 7 Kecamatan: Mandor, Ngabang, Pahauman, Sui Pinyuh, Toho, Menjalin, dan Mempawah Hulu tumplek blek di teras Kantor Gubernur, Senin.
7 Kecamatan itu pada saat kejadian masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pontianak. Karena tidak mendapatkan penanganan serius seperti halnya korban kerusuhan tahun 1999, kini mereka tinggal menyebar di beberapa daerah.
Ratusan pengungsi itu menggabungkan diri dalam forum peduli pengungsi pesta konflik sosial tahun 1996-1997 Kalimantan Barat. Dalam orasinya mereka berteriak bahwa selama ini mereka dianggap bukan sebagai warga negara Indonesia. Karena selama 10 tahun setelah peristiwa yang merenggut harta dan jiwa sanak keluarga mereka, mereka tidak mendapatkan perhatian serius.
Herlina (38) eks pengungsi kerusuhan yang kini telah menetap di Siantan mengaku dirinya sebagai warga negara sudah diperlakukan tidak adil. Selama 10 tahun setelah tragedi kemanusiaan itu, Ia mengaku tidak mendapat bantuan apa-apa dari pemerintah. “Padahal saya tahu uang untuk kami korban kerusuhan tahun 1996-1997 itu ada. Tapi saya tidak tahu dikemanakan hak kami itu,” ungkapnya.
Kini untuk menyambung hidupnya ia harus berkerja serabutan di sekitar tempat tinggalnya. Suaminya juga hanya bekerja sebagai buruh kasar, yang jika beruntung bisa membawa uang pulang.
Ia sendiri mengaku menumpang membuat sebuah gubuk untuk tempat tinggal di tanah orang. Sesekali ia menanam sayuran yang bisa dijual untuk menyambung hidupnya. Bahkan ketiga anaknya karena miskin tidak dapat menikmati sekolah.
“Bagaimana mau sekolah, uang makan saja susah. Anak saya kadang-kadang juga membantu saya bekerja untuk makan,” katanya.
Hal yang sama juga di sampaikan oleh Ahmad Sa’i wakil ketua forum para eks pengungsi. Menurutnya pemerintah harus mengembalikan hak para pengungsi. Hak yang telah dirampas oleh sejumlah orang yang tidak bertanggung jawab.
“Kami datang ke sini untuk menuntut agar hak kami dikembalikan. Apa yang kami miliki di daerah asal kami, bukan hasil dari merampas, tapi itu kerja keras kami. Tanah yang kami miliki di sana itu kami beli, sudah punya surat-surat yang jelas, ada SKT, ada sertifikat. Jadi kami minta hak agar hak kami itu dikembalikan,” katanya dengan nada keras.
Menurut Junaidi, dirinya dan beberapa eks pengungsi telah berupaya untuk mengurus harta yang menjadi hak mereka. Namun selalu saja menemui jalan buntu. Bahkan di atas tanah mereka kini telah dibangun rumah-rumah megah. Ia heran, bagaimana bangunan itu bisa berdiri di atas tanah yang masih bertuan.
Junaidi yakin dokumen tanah miliknya dan ratusan kepala keluarga yang menyelamatkan diri bersamanya masih utuh di kantor BPN.
Menurut Junaidi saat itu ratusan pengungsi dari beberapa lokasi dikumpulkan menjadi satu di Anjungan sebelum kemudian banyak yang pindah. Mereka tinggal di sebuah barak yang sengaja dibangun untuk para pengungsi. Hingga kini di barak itu masing tinggal sekitar 100 kepala keluarga (KK). Sedangkan yang lainnya sudah menyebar di beberapa daerah antara lain di Anjungan 110 KK, Galang 38 KK, Rasau Jaya 60 KK dan Peniraman 91 KK. Sejumlah eks pengungsi yang menyebar itu merasa tidak tahan tinggal di barak yang sempit. Kebanyakan di antara mereka tinggal menumpang di rumah saudara dan bahkan ada yang membangun gubuk sebagai tempat tinggal di atas parit.
Seorang remaja laki-laki yang tidak mau menyebutkan namanya mengaku saat kerusuhan terjadi dirinya masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Ia lari menyelamatkan diri ke Anjungan bersama nenek dan lima adiknya. Sedangkan kedua orang tuanya menjadi korban kerusuhan. Ia mengaku sempat sembunyi di dalam hutan sebelum akhirnya bisa sampai ke barak pengungsian di Anjungan.
Kini ia masih tinggal di barak itu bersama 100-an kepala keluarga. “Saya tetap bertahan tinggal di barak itu karena saya tidak punya sanak keluarga. Setiap hari saya harus bekerja mencari kayu dan menjual kepada penampung. Dari uang itulah saya bisa hidup bersama nenek dan adik-adik saya,” urainya.
Ia dan kedua adiknya juga tidak bisa melanjutkan sekolah. Walau bisa berhitung dan membaca Ia mengaku agak susah untuk menulis. “Saya masih kurang lancar menulis, karena waktu itu saya hanya sampai kelas satu SD. Sekarang saya tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak ada biaya,” katanya dengan sedih.
Rapik Darsono, S.Sos, salah seorang tokoh pemuda yang juga turut dalam aksi tersebut menyatakan bahwa para eks pengungsi ingin langsung bertemu dengan Gubernur. Selama hampir empat kali mereka datang ke kantor Gubernur, tidak sekalipun bisa bertemu dengan Gubernur. “Kemana saja Gubernur kita ini, sudah 4 kali kami datang ke sini, selalu saja tidak ada. Enak sekali dia jalan-jalan terus dengan uang rakyat, sementara kami dibiarkan menderita. Yang jelas kami akan menunggu sampai Gubernur datang dan mau memenuhi keinginan kami, kalau besok dia datang, kita tunggu sampai besok. Kalau kami harus menginap selama seminggu di sini untuk bisa ketemu dengan Pak Gub, maka kami akan menginap seminggu pula,” paparnya.
Ketika terjadi aksi dorong antara aparat keamanan dan sejumlah pengungsi, tampak seorang lelaki yang dengan penuh emosi terus berteriak dan melepaskan kemejanya. Mukanya memerah. Ketika sebuah teriakan, “Maju….maju terus….kita rebut kembali hak kita.” Massa terus mendesak barikade aparat yang berada di ujung tangga masuk Kantor Gubernur. Aksi dorong itu berlangsung sekitar lima menit, sampai akhirnya lelaki yang membuka baju itu terdorong dan jatuh pingsan.
Seorang perempuan dengan kerudung merah berbunga segera masuk dalam kerumunan dan berteriak. Ia Yanti, istri Selano yang pingsan itu. Ia berteriak dan menangis sejadinya melihat suaminya tak bergerak lagi.
Beberapa menit kemudian Selano sadar setelah diberi tetesan air mineral ke mulutnya. Selano mengaku dadanya sakit dan sesak. “Kenapa saya harus jadi korban dua kali. Dulu tahun 1996 saya sudah jadi korban, semua harta saya sudah habis, sekarang saya disakiti lagi,” ucapnya merintih.
Akhirnya Selano dilarikan ke klinik terdekat. Sang istri hanya bisa menangis melihat suaminya digotong pergi.
Kepada Tribune, Ia mengatakan kalau sampai terjadi apa-apa dengan suaminya, yang jelas Ia akan menuntut. “Kalau suami saya sakit, bagaimana dengan nasib anak-anak kami? Selama ini suami saya kerja mencari cerucuk dan dijual dengan harga Rp.200 per batang,” katanya sambil mengusap air mata.


.

Rabu, 20 Juni 2007

Impian Seorang Trolly Boy


Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak


Seorang pemuda dengan seragam kaos biru berkerah dan celana panjang warna gelap berdiri di depan pintu sebuah mall. Sesekali ia membetulkan kacamata minusnya dan beberapa kali terlihat mengubah posisi tangan. Terkadang ia melipatkan tangannya seperti orang kedinginan, tak lama kemudian menarik posisi tangannya ke belakang badan, mirip posisi istirahatnya pelajar yang tengah mendengarkan pengarahan saat upacara bendera.
Dia, Panca Nugraha usianya baru 20 tahun, tepatnya pada Desember nanti ia akan bertambah usia. Tapi Panca bukanlah seorang satpam atau petugas khusus penyambut tamu. Dia hanyalah seorang trolly boy di sebuah pusat perbelanjaan termegah di kota ini.
Dengan postur tubuh yang kecil atau lebih tepatnya kurus dan tinggi kurang dari 170 centimeter dengan berbekal ijazah SMU, Panca harus puas diterima kerja sebagai trolly boy. Pun waktu itu, ia termasuk karyawan cadangan, yang baru bisa mulai bekerja kalau sudah ada yang bisa digantikannya.
Begitulah keseharian Panca, bekerja 6 hari dalam satu minggu dengan pergantian sift. Jika kebagian sift siang, maka ia harus mulai bekerja dari pukul 08.00 WIB pagi hingga pukul 15.00 pada 3 hari pertama setiap minggu, atau pada pukul 14.00 sampai 22.00 untuk sift malam hari pada tiga hari kedua. Panca dan sesama rekannya mendapatkan jatah off satu hari, dan waktunya tidak harus hari minggu namun disesuaikan dengan pembagian waktu kerja.
“Panca, itu ada trolly di dekat pintu keluar parkir” seseorang dengan perawakan lebih tinggi dan dengan name tag di saku baju bagian kanan dadanya menghampiri Panca seraya menunjuk sebuah trolly yang kepanasan di luar gedung megah itu. Mungkin laki-laki dengan kemeja biru itu koordinator trolly boy atau senior Panca.
“Iya mas”
Kulihat Panca langsung berlari kecil menuju trolly yang terparkir dan langsung mendorongnya. Trolly itu harus ia bawa sampai ke tempat barisan trolly yang terparkir rapi di pintu masuk otomatis Hypermart.
Aku yang memperhatikan Panca mencoba berjalan sejajar dengannya.
“Capek dek?” sapaku
“Biasalah mbak, dorong dan tarik macam gini” sambil tersenyum dan terus berjalan mendorong trollynya.
Setelah kusampaikan niatku untuk bisa bertemu di rumahnya yang aku tau tak jauh dari tempatnya kerja ia segera menyetujuinya
“Gimana kalo nanti sore jak mbak, jam empatan lah. Saya kan pulang jam 2 siang ini,”
Tanpa ba bi bu. langsung ku iyakan.
Panca pun menyusun trolly yang dibawanya dan bergegas kembali ke tempatnya semula. Belum sampai lima langkah ia berjalan balik, seorang ibu hamil yang mendorong trolly berisi belanjaan dan anak laki-lakinya yang kira-kira berusia 3 tahunan memanggilnya.
“Dek, tolong dorongkan trolly saya sampai ke tempat parkir mobil saya ya,” pinta ibu muda itu
“Baik, bu,”
Tangan Panca kulihat dengan cekatan segera memengang besi pegangan trolly dan mendorongnya. Ibu itu berjalan dengan “lucu” karena perut besarnya disamping trollynya. Rupanya mobil ibu itu terparkir tak jauh dari sebuah pohon palm yang ada di halaman Mega Mall itu.
Dari jauh juga aku masih bisa melihat, dengan cekatan Panca memasukan barang belanjaan ibu itu ke bagian bagasi mobil. Sebelum Panca beranjak ibu itu buru-buru mengucapkan terima kasih dan Panca tampak menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.


Studio Musik
Tepat pukul 15.45, aku sampai di rumah Panca, di kompleks kampus Universitas Tanjungpura Pontianak tepatnya di Jalan Tanjungsari No. P.75. Rumah orang tua Panca memang agak sedikit masuk ke dalam. Sebenarnya halamannya cukup luas, namun menjadi terkesan sempit karena ada beberapa jenis tanaman yang tumbuh.
Ada pohon nangka, pisang, dan mangga di sebelah kiri jalan masuk yang menutupi sebuah kandang. Seperti kandang ayam atau sejenis unggas, karena terlihat ada kotak-kotak kayu yang sengaja dibuat seperti tempat bertelur. Tapi tak satupun jenis unggas ada dalam kandang itu. Yang terlihat hanya seekor monyet yang terikat pada tiang tengah kandang.
Di halaman sebelah kanan juga terlihat sebuah kandang berair yang dijalari batang kecipir dan tertutup rimbunnya pelepah pohon kepala dan pisang, ada juga beberapa pot bunga. Di dalam kandang itu ternyata terdapat beberapa ekor kura-kura. Ada yang sudah besar namun beberapa diantaranya masih kecil.
Katanya di dalam kandang itu juga dulu ada seekor biawak, tapi kemudian lepas dan tidak bisa ditangkap lagi.
Di halaman rumah tampak terparkir beberapa motor, dan terlihat beberapa remaja tanggung duduk di kursi yang ada di teras rumah. Dari dalam sebuah ruangan terdengar suara musik.
Aku tidak tahu alunan lagu apa yang sedang dinyanyikan oleh seorang vokalisnya. Kulihat Panca keluar dari sebuah ruangan yang saat pintu itu terbuka, suara musik yang keras menyeruak keluar bak air bah dan kembali mengecil setelah pintu di tutup. Rupaya ruangan itu adalah sebuah studio musik miliknya. Setelah berbasa-basi, kami pun langsung berbincang.
“Ini studio musik saya mbak, kalau misalnya teman-teman mbak ada yang suka musik dan ingin mencoba mengasah bakatnya, boleh dibawa kesini. Gak mahal kok mbak, hanya Rp.15.000 per jamnya,” jelas Panca berusaha mempromosikan studio musiknya.
Aku tersenyum, “Insya Allah deh,” jawabku singkat.
Ternyata studio musik itu menjadi tempat kedua bagi Panca untuk mendapatkan uang. Studio itu baru dioperasikan beberapa bulan ini, dan segala sesuatunya coba ia usahakan sendiri. Dari mulai membuat ruangan agar kedap suara, seperangkat alat musik walau belum lengkap termasuk pendingin ruangan.
Untuk membeli semua alat itu, Panca harus meminjam uang puluhan juta dari sebuah koperasi simpan pinjam. Dan karena itu juga Panca harus mengembalikan pinjamannya dalam bentuk cicilan dengan besaran Rp. 1.000.000 tiap bulannya selama 3 tahun.
Tentu bukan jumlah yang sedikit, dari seorang Panca yang bekerja sebagai trolly boy. namun ia yakin sanggup memenuhi kewajibannya itu.
Panca anak kelima dari 6 bersaudara itu ternyata memang mempunyi bakat di bidang seni. Beberapa alat musik mampu dengan bagus ia mainkan, bahkan ia juga pernah menjadi guru private musik dari beberapa pelajar. Panca cukup terdukung oleh dua saudaranya yang juga mempunyai hobby yang sama. Apalagi orang tuanya memberikan ruang yang bebas bagi anak-anaknya untuk berekspresi.
“Cita-cita saya gak muluk-muluk mbak, saya hanya ingin membantu para remaja yang punya bakat dan hobby dengan musik untuk menyalurkannya, untung-untung kalau bisa melahirkan kelompok band besar dan punya nama di Pontianak ini,” katanya.
Cita-cita panca memang tidak berlebihan, hal ini terbukti dari lahirnya beberapa kelompok band sekolah yang dimotori oleh para mantan muridnya. Sebut saja kelompok band di SMP Al Azhar. Kendati belum punya nama besar atau menang di event-event musik yang diadakan di Kota Pontianak, tapi setidaknya para remaja tanggung itu sudah berani dan bisa mengekspresikan kemampuannya.
Ketika SMA dulu Panca dan group bandnya di SMU Mujahidin pernah beberapa kali menyabet juara dari beberapa event. Bahkan pernah terpilih untuk mengikuti event di luar Kalimantan Barat. Namun, gagal karena menurutnya ada permainan yang tidak fair.
“Kami-kami ini hanya anak-anak yang punya kemauan dan sedikit kemampuan mbak, jadi ya tidak bisa berbuat banyak kalau sudah ketemu yang main uang begitu mbak, tak bisa apa-apa,” jelasnya.
Panca dan abangnya juga kerap diminta main organ tunggal pada sebuah pesta perkawinan atau manggung di beberapa café. Namun, tentu saja dengan honor yang masih sangat kecil. Biasanya kalau sudah menerima honor begitu, Panca pasti agak menyisihkan sebagian dan memberikanya kepada ibunya.
“Membantu orang tua itu kan harus mbak, kalau memang tidak bisa ya seadanya saja,” ujarnya sambil membetulkan letak kacamatanya.
Senja mulai tiba, sinar merah matahari di ufuk Barat menimbulkan pendar-pendar yang menyilaukan. Panca Nugroho, remaja yang coba meraih masa depan dan peruntunganya lewat musik, tanpak dahaga dengan angan-angannya. Sayang ia tidak punya cukup banyak kesempatan untuk menunjukan kemampuannya seperti kebanyakan musisi-musisi lain yang telah berhasil dan menjadi besar, kendati berasal dari kota kecil seperti Pontianak ini. □