Senin, 30 Juli 2007

Kisah Anak Transmigran dari Papua

Dari Pembantu Rumah Tangga Hingga Kandidat Dekan

Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak

Penampilannya sederhana. Ia mengenakan kemeja lengan pendek. Sebuah tas hitam terjinjing di tangannya. Rambutnya belah samping. Sebuah kaca mata bening nangkring di hidungnya. Kaca mata itu makin membuatnya terlihat sederhana. Memang begitulah dia.

Namanya, FX. Soewarto, MS. Usianya 53 tahun. Ia putra transmigran asal Papua yang boleh dibilang sukses.

Ia datang ke Papua, ikut saudaranya setelah peristiwa Trikora, 1964. Waktu itu, namanya bukan transmigrasi. Tapi PP2SIB, kepanjangan dari Pelopor Perintis Pembangunan Serbaguna Irian Barat. Yang ikut program itu, sekitar 27 kepala keluarga.

Ia mengisahkan setelah Irian Barat di serahkan oleh Belanda kepada NKRI, pemerintah berusaha mempertahankannya. Salah satu bentuknya adalah dengan mengirimkan rakyat Indonesia dari tanah Jawa ke daerah yang kini disebut Papua.

Saat datang ke Papua, ia masih duduk di bangku SD. Alhasil, ia pun harus melanjutkan pendidikan dasarnya di Merauke. Ia tinggal di sana selama 43 tahun.

Sewaktu kuliah di S1, ia tinggal di asrama mahasiswa. Di asrama, ia membuat kebun sayur. Selain masak sendiri, kalau panen raya tiba, ia juga menjualnya. Hasilnya lumayan. Paling tidak, bisa untuk membeli buku.

Tak itu saja. Pria dari Wonogiri, Jawa Tengah, juga pernah menjadi pembantu rumah tangga. Hal itu dilakukannya, untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya pendidikannya.

Untuk pendidikannya sendiri, setelah menyelesaikan S1, ia berkesempatan menyelesaikan S2-nya di Universitas Indonesia, 1990. Kini, ia sedang menempuh pendidikan S3/doktoral di UI.

Soewarto tinggal di Jayapura, menjadi dosen. Kembali ke almamater, katanya. Kakek satu cucu ini, alumni FKIP Universitas Cendrawasih.

Menurutnya, semua pekerjaan bisa dikerjakan dengan baik. Pengangkatannya sebagai dosen pada 1983.

Ia berkata, untuk menjadi dosen seperti sekarang, bukan hal mudah. Ia harus harus berjuang. Sebelum menyelesaikan pendidikan sarjananya, ia bekerja sebagai asisten dosen di kampusnya. Pekerjaan itu berlanjut hingga kuliahnya selesai.

Setelah menikah tahun 80-an, ia menambah aktivitas pekerjaannya sebagai guru di SMA. Ia juga mengelola sebuah yayasan sosial dan manajemen, sekaligus dosen di sekolah tinggi.

Ditanya tentang perkembangan kehidupan transmigran di tanah Papua, ia mengatakan, untuk wilayah tertinggal kondisinya umumnya sama. Kalau masalah pendidikan, sekarang pemerintah telah mempunyai kebijakan pendidikan luar sekolah/PSL. Dengan PSL ini, anak Papua yang transmigran atau bukan, bisa mengenyam pendidikan.

Kendati dirinya seorang transmigran, namun ia cukup mendapat kepercayaan dari masyarakat setempat. Terutama di kampus tempatnya mengajar. Setidaknya beberapa jabatan pernah diembannya. Antara lain, Kepala Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat (1994-1998). Ketua Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (1998-2006).

Di PATRI, ia dipercaya sebagai dewan pertimbangan DPD Papua, yang diketuai oleh Sekda setempat.

Ia juga dipercaya sebagai anggota dari Badan Pengembangan Universitas Cendrawasih Jayapura. Amanah yang dipikulnya bersama rekannya yang lain adalah, pengembangan kampus baik dari segi fisik, sumber daya manusia (SDM) dan kerjasama dengan pihak lain.

Menurut pria yang menyatakan, istilah transmigrasi baru dikenal 1966, ia selalu berbekal tiga hal dalam melakukan berbagai hal. Tiga hal tersebut adalah kerjasama, disiplin dan motivasi. Tiga hal ini sangat penting baginya.

Kini, ia telah merasakan manisnya perjuangan itu. Pada pemilihan Dekan FKIP nanti, ia yakin akan maju sebagai calon. “Pemilihan dekan mendatang, saya yakin akan daftar sebagai calon,” ucapnya dengan yakin.

Soewarto mengatakan, “Keberadaan anak transmigran di Papua cukup diperhitungkan.”□

Tidak ada komentar: