Mau Sekolah, Makan Saja Susah
* Tragedi Kemanusiaan itu Sudah 10 Tahun
Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak
Setelah 10 tahun merasa ditelantarkan, ratusan eks pengungsi korban konflik horizontal 1996-1997 kembali menuntut haknya. Sedikitnya warga dari 7 Kecamatan: Mandor, Ngabang, Pahauman, Sui Pinyuh, Toho, Menjalin, dan Mempawah Hulu tumplek blek di teras Kantor Gubernur, Senin.
7 Kecamatan itu pada saat kejadian masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pontianak. Karena tidak mendapatkan penanganan serius seperti halnya korban kerusuhan tahun 1999, kini mereka tinggal menyebar di beberapa daerah.
Ratusan pengungsi itu menggabungkan diri dalam forum peduli pengungsi pesta konflik sosial tahun 1996-1997 Kalimantan Barat. Dalam orasinya mereka berteriak bahwa selama ini mereka dianggap bukan sebagai warga negara Indonesia. Karena selama 10 tahun setelah peristiwa yang merenggut harta dan jiwa sanak keluarga mereka, mereka tidak mendapatkan perhatian serius.
Herlina (38) eks pengungsi kerusuhan yang kini telah menetap di Siantan mengaku dirinya sebagai warga negara sudah diperlakukan tidak adil. Selama 10 tahun setelah tragedi kemanusiaan itu, Ia mengaku tidak mendapat bantuan apa-apa dari pemerintah. “Padahal saya tahu uang untuk kami korban kerusuhan tahun 1996-1997 itu ada. Tapi saya tidak tahu dikemanakan hak kami itu,” ungkapnya.
Kini untuk menyambung hidupnya ia harus berkerja serabutan di sekitar tempat tinggalnya. Suaminya juga hanya bekerja sebagai buruh kasar, yang jika beruntung bisa membawa uang pulang.
Ia sendiri mengaku menumpang membuat sebuah gubuk untuk tempat tinggal di tanah orang. Sesekali ia menanam sayuran yang bisa dijual untuk menyambung hidupnya. Bahkan ketiga anaknya karena miskin tidak dapat menikmati sekolah.
“Bagaimana mau sekolah, uang makan saja susah. Anak saya kadang-kadang juga membantu saya bekerja untuk makan,” katanya.
Hal yang sama juga di sampaikan oleh Ahmad Sa’i wakil ketua forum para eks pengungsi. Menurutnya pemerintah harus mengembalikan hak para pengungsi. Hak yang telah dirampas oleh sejumlah orang yang tidak bertanggung jawab.
“Kami datang ke sini untuk menuntut agar hak kami dikembalikan. Apa yang kami miliki di daerah asal kami, bukan hasil dari merampas, tapi itu kerja keras kami. Tanah yang kami miliki di sana itu kami beli, sudah punya surat-surat yang jelas, ada SKT, ada sertifikat. Jadi kami minta hak agar hak kami itu dikembalikan,” katanya dengan nada keras.
Menurut Junaidi, dirinya dan beberapa eks pengungsi telah berupaya untuk mengurus harta yang menjadi hak mereka. Namun selalu saja menemui jalan buntu. Bahkan di atas tanah mereka kini telah dibangun rumah-rumah megah. Ia heran, bagaimana bangunan itu bisa berdiri di atas tanah yang masih bertuan.
Junaidi yakin dokumen tanah miliknya dan ratusan kepala keluarga yang menyelamatkan diri bersamanya masih utuh di kantor BPN.
Menurut Junaidi saat itu ratusan pengungsi dari beberapa lokasi dikumpulkan menjadi satu di Anjungan sebelum kemudian banyak yang pindah. Mereka tinggal di sebuah barak yang sengaja dibangun untuk para pengungsi. Hingga kini di barak itu masing tinggal sekitar 100 kepala keluarga (KK). Sedangkan yang lainnya sudah menyebar di beberapa daerah antara lain di Anjungan 110 KK, Galang 38 KK, Rasau Jaya 60 KK dan Peniraman 91 KK. Sejumlah eks pengungsi yang menyebar itu merasa tidak tahan tinggal di barak yang sempit. Kebanyakan di antara mereka tinggal menumpang di rumah saudara dan bahkan ada yang membangun gubuk sebagai tempat tinggal di atas parit.
Seorang remaja laki-laki yang tidak mau menyebutkan namanya mengaku saat kerusuhan terjadi dirinya masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Ia lari menyelamatkan diri ke Anjungan bersama nenek dan lima adiknya. Sedangkan kedua orang tuanya menjadi korban kerusuhan. Ia mengaku sempat sembunyi di dalam hutan sebelum akhirnya bisa sampai ke barak pengungsian di Anjungan.
Kini ia masih tinggal di barak itu bersama 100-an kepala keluarga. “Saya tetap bertahan tinggal di barak itu karena saya tidak punya sanak keluarga. Setiap hari saya harus bekerja mencari kayu dan menjual kepada penampung. Dari uang itulah saya bisa hidup bersama nenek dan adik-adik saya,” urainya.
Ia dan kedua adiknya juga tidak bisa melanjutkan sekolah. Walau bisa berhitung dan membaca Ia mengaku agak susah untuk menulis. “Saya masih kurang lancar menulis, karena waktu itu saya hanya sampai kelas satu SD. Sekarang saya tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak ada biaya,” katanya dengan sedih.
Rapik Darsono, S.Sos, salah seorang tokoh pemuda yang juga turut dalam aksi tersebut menyatakan bahwa para eks pengungsi ingin langsung bertemu dengan Gubernur. Selama hampir empat kali mereka datang ke kantor Gubernur, tidak sekalipun bisa bertemu dengan Gubernur. “Kemana saja Gubernur kita ini, sudah 4 kali kami datang ke sini, selalu saja tidak ada. Enak sekali dia jalan-jalan terus dengan uang rakyat, sementara kami dibiarkan menderita. Yang jelas kami akan menunggu sampai Gubernur datang dan mau memenuhi keinginan kami, kalau besok dia datang, kita tunggu sampai besok. Kalau kami harus menginap selama seminggu di sini untuk bisa ketemu dengan Pak Gub, maka kami akan menginap seminggu pula,” paparnya.
Ketika terjadi aksi dorong antara aparat keamanan dan sejumlah pengungsi, tampak seorang lelaki yang dengan penuh emosi terus berteriak dan melepaskan kemejanya. Mukanya memerah. Ketika sebuah teriakan, “Maju….maju terus….kita rebut kembali hak kita.” Massa terus mendesak barikade aparat yang berada di ujung tangga masuk Kantor Gubernur. Aksi dorong itu berlangsung sekitar lima menit, sampai akhirnya lelaki yang membuka baju itu terdorong dan jatuh pingsan.
Seorang perempuan dengan kerudung merah berbunga segera masuk dalam kerumunan dan berteriak. Ia Yanti, istri Selano yang pingsan itu. Ia berteriak dan menangis sejadinya melihat suaminya tak bergerak lagi.
Beberapa menit kemudian Selano sadar setelah diberi tetesan air mineral ke mulutnya. Selano mengaku dadanya sakit dan sesak. “Kenapa saya harus jadi korban dua kali. Dulu tahun 1996 saya sudah jadi korban, semua harta saya sudah habis, sekarang saya disakiti lagi,” ucapnya merintih.
Akhirnya Selano dilarikan ke klinik terdekat. Sang istri hanya bisa menangis melihat suaminya digotong pergi.
Kepada Tribune, Ia mengatakan kalau sampai terjadi apa-apa dengan suaminya, yang jelas Ia akan menuntut. “Kalau suami saya sakit, bagaimana dengan nasib anak-anak kami? Selama ini suami saya kerja mencari cerucuk dan dijual dengan harga Rp.200 per batang,” katanya sambil mengusap air mata.
.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar