Rabu, 20 Juni 2007

Impian Seorang Trolly Boy


Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak


Seorang pemuda dengan seragam kaos biru berkerah dan celana panjang warna gelap berdiri di depan pintu sebuah mall. Sesekali ia membetulkan kacamata minusnya dan beberapa kali terlihat mengubah posisi tangan. Terkadang ia melipatkan tangannya seperti orang kedinginan, tak lama kemudian menarik posisi tangannya ke belakang badan, mirip posisi istirahatnya pelajar yang tengah mendengarkan pengarahan saat upacara bendera.
Dia, Panca Nugraha usianya baru 20 tahun, tepatnya pada Desember nanti ia akan bertambah usia. Tapi Panca bukanlah seorang satpam atau petugas khusus penyambut tamu. Dia hanyalah seorang trolly boy di sebuah pusat perbelanjaan termegah di kota ini.
Dengan postur tubuh yang kecil atau lebih tepatnya kurus dan tinggi kurang dari 170 centimeter dengan berbekal ijazah SMU, Panca harus puas diterima kerja sebagai trolly boy. Pun waktu itu, ia termasuk karyawan cadangan, yang baru bisa mulai bekerja kalau sudah ada yang bisa digantikannya.
Begitulah keseharian Panca, bekerja 6 hari dalam satu minggu dengan pergantian sift. Jika kebagian sift siang, maka ia harus mulai bekerja dari pukul 08.00 WIB pagi hingga pukul 15.00 pada 3 hari pertama setiap minggu, atau pada pukul 14.00 sampai 22.00 untuk sift malam hari pada tiga hari kedua. Panca dan sesama rekannya mendapatkan jatah off satu hari, dan waktunya tidak harus hari minggu namun disesuaikan dengan pembagian waktu kerja.
“Panca, itu ada trolly di dekat pintu keluar parkir” seseorang dengan perawakan lebih tinggi dan dengan name tag di saku baju bagian kanan dadanya menghampiri Panca seraya menunjuk sebuah trolly yang kepanasan di luar gedung megah itu. Mungkin laki-laki dengan kemeja biru itu koordinator trolly boy atau senior Panca.
“Iya mas”
Kulihat Panca langsung berlari kecil menuju trolly yang terparkir dan langsung mendorongnya. Trolly itu harus ia bawa sampai ke tempat barisan trolly yang terparkir rapi di pintu masuk otomatis Hypermart.
Aku yang memperhatikan Panca mencoba berjalan sejajar dengannya.
“Capek dek?” sapaku
“Biasalah mbak, dorong dan tarik macam gini” sambil tersenyum dan terus berjalan mendorong trollynya.
Setelah kusampaikan niatku untuk bisa bertemu di rumahnya yang aku tau tak jauh dari tempatnya kerja ia segera menyetujuinya
“Gimana kalo nanti sore jak mbak, jam empatan lah. Saya kan pulang jam 2 siang ini,”
Tanpa ba bi bu. langsung ku iyakan.
Panca pun menyusun trolly yang dibawanya dan bergegas kembali ke tempatnya semula. Belum sampai lima langkah ia berjalan balik, seorang ibu hamil yang mendorong trolly berisi belanjaan dan anak laki-lakinya yang kira-kira berusia 3 tahunan memanggilnya.
“Dek, tolong dorongkan trolly saya sampai ke tempat parkir mobil saya ya,” pinta ibu muda itu
“Baik, bu,”
Tangan Panca kulihat dengan cekatan segera memengang besi pegangan trolly dan mendorongnya. Ibu itu berjalan dengan “lucu” karena perut besarnya disamping trollynya. Rupanya mobil ibu itu terparkir tak jauh dari sebuah pohon palm yang ada di halaman Mega Mall itu.
Dari jauh juga aku masih bisa melihat, dengan cekatan Panca memasukan barang belanjaan ibu itu ke bagian bagasi mobil. Sebelum Panca beranjak ibu itu buru-buru mengucapkan terima kasih dan Panca tampak menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.


Studio Musik
Tepat pukul 15.45, aku sampai di rumah Panca, di kompleks kampus Universitas Tanjungpura Pontianak tepatnya di Jalan Tanjungsari No. P.75. Rumah orang tua Panca memang agak sedikit masuk ke dalam. Sebenarnya halamannya cukup luas, namun menjadi terkesan sempit karena ada beberapa jenis tanaman yang tumbuh.
Ada pohon nangka, pisang, dan mangga di sebelah kiri jalan masuk yang menutupi sebuah kandang. Seperti kandang ayam atau sejenis unggas, karena terlihat ada kotak-kotak kayu yang sengaja dibuat seperti tempat bertelur. Tapi tak satupun jenis unggas ada dalam kandang itu. Yang terlihat hanya seekor monyet yang terikat pada tiang tengah kandang.
Di halaman sebelah kanan juga terlihat sebuah kandang berair yang dijalari batang kecipir dan tertutup rimbunnya pelepah pohon kepala dan pisang, ada juga beberapa pot bunga. Di dalam kandang itu ternyata terdapat beberapa ekor kura-kura. Ada yang sudah besar namun beberapa diantaranya masih kecil.
Katanya di dalam kandang itu juga dulu ada seekor biawak, tapi kemudian lepas dan tidak bisa ditangkap lagi.
Di halaman rumah tampak terparkir beberapa motor, dan terlihat beberapa remaja tanggung duduk di kursi yang ada di teras rumah. Dari dalam sebuah ruangan terdengar suara musik.
Aku tidak tahu alunan lagu apa yang sedang dinyanyikan oleh seorang vokalisnya. Kulihat Panca keluar dari sebuah ruangan yang saat pintu itu terbuka, suara musik yang keras menyeruak keluar bak air bah dan kembali mengecil setelah pintu di tutup. Rupaya ruangan itu adalah sebuah studio musik miliknya. Setelah berbasa-basi, kami pun langsung berbincang.
“Ini studio musik saya mbak, kalau misalnya teman-teman mbak ada yang suka musik dan ingin mencoba mengasah bakatnya, boleh dibawa kesini. Gak mahal kok mbak, hanya Rp.15.000 per jamnya,” jelas Panca berusaha mempromosikan studio musiknya.
Aku tersenyum, “Insya Allah deh,” jawabku singkat.
Ternyata studio musik itu menjadi tempat kedua bagi Panca untuk mendapatkan uang. Studio itu baru dioperasikan beberapa bulan ini, dan segala sesuatunya coba ia usahakan sendiri. Dari mulai membuat ruangan agar kedap suara, seperangkat alat musik walau belum lengkap termasuk pendingin ruangan.
Untuk membeli semua alat itu, Panca harus meminjam uang puluhan juta dari sebuah koperasi simpan pinjam. Dan karena itu juga Panca harus mengembalikan pinjamannya dalam bentuk cicilan dengan besaran Rp. 1.000.000 tiap bulannya selama 3 tahun.
Tentu bukan jumlah yang sedikit, dari seorang Panca yang bekerja sebagai trolly boy. namun ia yakin sanggup memenuhi kewajibannya itu.
Panca anak kelima dari 6 bersaudara itu ternyata memang mempunyi bakat di bidang seni. Beberapa alat musik mampu dengan bagus ia mainkan, bahkan ia juga pernah menjadi guru private musik dari beberapa pelajar. Panca cukup terdukung oleh dua saudaranya yang juga mempunyai hobby yang sama. Apalagi orang tuanya memberikan ruang yang bebas bagi anak-anaknya untuk berekspresi.
“Cita-cita saya gak muluk-muluk mbak, saya hanya ingin membantu para remaja yang punya bakat dan hobby dengan musik untuk menyalurkannya, untung-untung kalau bisa melahirkan kelompok band besar dan punya nama di Pontianak ini,” katanya.
Cita-cita panca memang tidak berlebihan, hal ini terbukti dari lahirnya beberapa kelompok band sekolah yang dimotori oleh para mantan muridnya. Sebut saja kelompok band di SMP Al Azhar. Kendati belum punya nama besar atau menang di event-event musik yang diadakan di Kota Pontianak, tapi setidaknya para remaja tanggung itu sudah berani dan bisa mengekspresikan kemampuannya.
Ketika SMA dulu Panca dan group bandnya di SMU Mujahidin pernah beberapa kali menyabet juara dari beberapa event. Bahkan pernah terpilih untuk mengikuti event di luar Kalimantan Barat. Namun, gagal karena menurutnya ada permainan yang tidak fair.
“Kami-kami ini hanya anak-anak yang punya kemauan dan sedikit kemampuan mbak, jadi ya tidak bisa berbuat banyak kalau sudah ketemu yang main uang begitu mbak, tak bisa apa-apa,” jelasnya.
Panca dan abangnya juga kerap diminta main organ tunggal pada sebuah pesta perkawinan atau manggung di beberapa café. Namun, tentu saja dengan honor yang masih sangat kecil. Biasanya kalau sudah menerima honor begitu, Panca pasti agak menyisihkan sebagian dan memberikanya kepada ibunya.
“Membantu orang tua itu kan harus mbak, kalau memang tidak bisa ya seadanya saja,” ujarnya sambil membetulkan letak kacamatanya.
Senja mulai tiba, sinar merah matahari di ufuk Barat menimbulkan pendar-pendar yang menyilaukan. Panca Nugroho, remaja yang coba meraih masa depan dan peruntunganya lewat musik, tanpak dahaga dengan angan-angannya. Sayang ia tidak punya cukup banyak kesempatan untuk menunjukan kemampuannya seperti kebanyakan musisi-musisi lain yang telah berhasil dan menjadi besar, kendati berasal dari kota kecil seperti Pontianak ini. □

Tidak ada komentar: