Jumat, 22 Juni 2007
Derita itu berawal dari Konflik
Mau Sekolah, Makan Saja Susah
* Tragedi Kemanusiaan itu Sudah 10 Tahun
Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak
Setelah 10 tahun merasa ditelantarkan, ratusan eks pengungsi korban konflik horizontal 1996-1997 kembali menuntut haknya. Sedikitnya warga dari 7 Kecamatan: Mandor, Ngabang, Pahauman, Sui Pinyuh, Toho, Menjalin, dan Mempawah Hulu tumplek blek di teras Kantor Gubernur, Senin.
7 Kecamatan itu pada saat kejadian masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pontianak. Karena tidak mendapatkan penanganan serius seperti halnya korban kerusuhan tahun 1999, kini mereka tinggal menyebar di beberapa daerah.
Ratusan pengungsi itu menggabungkan diri dalam forum peduli pengungsi pesta konflik sosial tahun 1996-1997 Kalimantan Barat. Dalam orasinya mereka berteriak bahwa selama ini mereka dianggap bukan sebagai warga negara Indonesia. Karena selama 10 tahun setelah peristiwa yang merenggut harta dan jiwa sanak keluarga mereka, mereka tidak mendapatkan perhatian serius.
Herlina (38) eks pengungsi kerusuhan yang kini telah menetap di Siantan mengaku dirinya sebagai warga negara sudah diperlakukan tidak adil. Selama 10 tahun setelah tragedi kemanusiaan itu, Ia mengaku tidak mendapat bantuan apa-apa dari pemerintah. “Padahal saya tahu uang untuk kami korban kerusuhan tahun 1996-1997 itu ada. Tapi saya tidak tahu dikemanakan hak kami itu,” ungkapnya.
Kini untuk menyambung hidupnya ia harus berkerja serabutan di sekitar tempat tinggalnya. Suaminya juga hanya bekerja sebagai buruh kasar, yang jika beruntung bisa membawa uang pulang.
Ia sendiri mengaku menumpang membuat sebuah gubuk untuk tempat tinggal di tanah orang. Sesekali ia menanam sayuran yang bisa dijual untuk menyambung hidupnya. Bahkan ketiga anaknya karena miskin tidak dapat menikmati sekolah.
“Bagaimana mau sekolah, uang makan saja susah. Anak saya kadang-kadang juga membantu saya bekerja untuk makan,” katanya.
Hal yang sama juga di sampaikan oleh Ahmad Sa’i wakil ketua forum para eks pengungsi. Menurutnya pemerintah harus mengembalikan hak para pengungsi. Hak yang telah dirampas oleh sejumlah orang yang tidak bertanggung jawab.
“Kami datang ke sini untuk menuntut agar hak kami dikembalikan. Apa yang kami miliki di daerah asal kami, bukan hasil dari merampas, tapi itu kerja keras kami. Tanah yang kami miliki di sana itu kami beli, sudah punya surat-surat yang jelas, ada SKT, ada sertifikat. Jadi kami minta hak agar hak kami itu dikembalikan,” katanya dengan nada keras.
Menurut Junaidi, dirinya dan beberapa eks pengungsi telah berupaya untuk mengurus harta yang menjadi hak mereka. Namun selalu saja menemui jalan buntu. Bahkan di atas tanah mereka kini telah dibangun rumah-rumah megah. Ia heran, bagaimana bangunan itu bisa berdiri di atas tanah yang masih bertuan.
Junaidi yakin dokumen tanah miliknya dan ratusan kepala keluarga yang menyelamatkan diri bersamanya masih utuh di kantor BPN.
Menurut Junaidi saat itu ratusan pengungsi dari beberapa lokasi dikumpulkan menjadi satu di Anjungan sebelum kemudian banyak yang pindah. Mereka tinggal di sebuah barak yang sengaja dibangun untuk para pengungsi. Hingga kini di barak itu masing tinggal sekitar 100 kepala keluarga (KK). Sedangkan yang lainnya sudah menyebar di beberapa daerah antara lain di Anjungan 110 KK, Galang 38 KK, Rasau Jaya 60 KK dan Peniraman 91 KK. Sejumlah eks pengungsi yang menyebar itu merasa tidak tahan tinggal di barak yang sempit. Kebanyakan di antara mereka tinggal menumpang di rumah saudara dan bahkan ada yang membangun gubuk sebagai tempat tinggal di atas parit.
Seorang remaja laki-laki yang tidak mau menyebutkan namanya mengaku saat kerusuhan terjadi dirinya masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Ia lari menyelamatkan diri ke Anjungan bersama nenek dan lima adiknya. Sedangkan kedua orang tuanya menjadi korban kerusuhan. Ia mengaku sempat sembunyi di dalam hutan sebelum akhirnya bisa sampai ke barak pengungsian di Anjungan.
Kini ia masih tinggal di barak itu bersama 100-an kepala keluarga. “Saya tetap bertahan tinggal di barak itu karena saya tidak punya sanak keluarga. Setiap hari saya harus bekerja mencari kayu dan menjual kepada penampung. Dari uang itulah saya bisa hidup bersama nenek dan adik-adik saya,” urainya.
Ia dan kedua adiknya juga tidak bisa melanjutkan sekolah. Walau bisa berhitung dan membaca Ia mengaku agak susah untuk menulis. “Saya masih kurang lancar menulis, karena waktu itu saya hanya sampai kelas satu SD. Sekarang saya tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak ada biaya,” katanya dengan sedih.
Rapik Darsono, S.Sos, salah seorang tokoh pemuda yang juga turut dalam aksi tersebut menyatakan bahwa para eks pengungsi ingin langsung bertemu dengan Gubernur. Selama hampir empat kali mereka datang ke kantor Gubernur, tidak sekalipun bisa bertemu dengan Gubernur. “Kemana saja Gubernur kita ini, sudah 4 kali kami datang ke sini, selalu saja tidak ada. Enak sekali dia jalan-jalan terus dengan uang rakyat, sementara kami dibiarkan menderita. Yang jelas kami akan menunggu sampai Gubernur datang dan mau memenuhi keinginan kami, kalau besok dia datang, kita tunggu sampai besok. Kalau kami harus menginap selama seminggu di sini untuk bisa ketemu dengan Pak Gub, maka kami akan menginap seminggu pula,” paparnya.
Ketika terjadi aksi dorong antara aparat keamanan dan sejumlah pengungsi, tampak seorang lelaki yang dengan penuh emosi terus berteriak dan melepaskan kemejanya. Mukanya memerah. Ketika sebuah teriakan, “Maju….maju terus….kita rebut kembali hak kita.” Massa terus mendesak barikade aparat yang berada di ujung tangga masuk Kantor Gubernur. Aksi dorong itu berlangsung sekitar lima menit, sampai akhirnya lelaki yang membuka baju itu terdorong dan jatuh pingsan.
Seorang perempuan dengan kerudung merah berbunga segera masuk dalam kerumunan dan berteriak. Ia Yanti, istri Selano yang pingsan itu. Ia berteriak dan menangis sejadinya melihat suaminya tak bergerak lagi.
Beberapa menit kemudian Selano sadar setelah diberi tetesan air mineral ke mulutnya. Selano mengaku dadanya sakit dan sesak. “Kenapa saya harus jadi korban dua kali. Dulu tahun 1996 saya sudah jadi korban, semua harta saya sudah habis, sekarang saya disakiti lagi,” ucapnya merintih.
Akhirnya Selano dilarikan ke klinik terdekat. Sang istri hanya bisa menangis melihat suaminya digotong pergi.
Kepada Tribune, Ia mengatakan kalau sampai terjadi apa-apa dengan suaminya, yang jelas Ia akan menuntut. “Kalau suami saya sakit, bagaimana dengan nasib anak-anak kami? Selama ini suami saya kerja mencari cerucuk dan dijual dengan harga Rp.200 per batang,” katanya sambil mengusap air mata.
.
* Tragedi Kemanusiaan itu Sudah 10 Tahun
Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak
Setelah 10 tahun merasa ditelantarkan, ratusan eks pengungsi korban konflik horizontal 1996-1997 kembali menuntut haknya. Sedikitnya warga dari 7 Kecamatan: Mandor, Ngabang, Pahauman, Sui Pinyuh, Toho, Menjalin, dan Mempawah Hulu tumplek blek di teras Kantor Gubernur, Senin.
7 Kecamatan itu pada saat kejadian masuk ke dalam wilayah Kabupaten Pontianak. Karena tidak mendapatkan penanganan serius seperti halnya korban kerusuhan tahun 1999, kini mereka tinggal menyebar di beberapa daerah.
Ratusan pengungsi itu menggabungkan diri dalam forum peduli pengungsi pesta konflik sosial tahun 1996-1997 Kalimantan Barat. Dalam orasinya mereka berteriak bahwa selama ini mereka dianggap bukan sebagai warga negara Indonesia. Karena selama 10 tahun setelah peristiwa yang merenggut harta dan jiwa sanak keluarga mereka, mereka tidak mendapatkan perhatian serius.
Herlina (38) eks pengungsi kerusuhan yang kini telah menetap di Siantan mengaku dirinya sebagai warga negara sudah diperlakukan tidak adil. Selama 10 tahun setelah tragedi kemanusiaan itu, Ia mengaku tidak mendapat bantuan apa-apa dari pemerintah. “Padahal saya tahu uang untuk kami korban kerusuhan tahun 1996-1997 itu ada. Tapi saya tidak tahu dikemanakan hak kami itu,” ungkapnya.
Kini untuk menyambung hidupnya ia harus berkerja serabutan di sekitar tempat tinggalnya. Suaminya juga hanya bekerja sebagai buruh kasar, yang jika beruntung bisa membawa uang pulang.
Ia sendiri mengaku menumpang membuat sebuah gubuk untuk tempat tinggal di tanah orang. Sesekali ia menanam sayuran yang bisa dijual untuk menyambung hidupnya. Bahkan ketiga anaknya karena miskin tidak dapat menikmati sekolah.
“Bagaimana mau sekolah, uang makan saja susah. Anak saya kadang-kadang juga membantu saya bekerja untuk makan,” katanya.
Hal yang sama juga di sampaikan oleh Ahmad Sa’i wakil ketua forum para eks pengungsi. Menurutnya pemerintah harus mengembalikan hak para pengungsi. Hak yang telah dirampas oleh sejumlah orang yang tidak bertanggung jawab.
“Kami datang ke sini untuk menuntut agar hak kami dikembalikan. Apa yang kami miliki di daerah asal kami, bukan hasil dari merampas, tapi itu kerja keras kami. Tanah yang kami miliki di sana itu kami beli, sudah punya surat-surat yang jelas, ada SKT, ada sertifikat. Jadi kami minta hak agar hak kami itu dikembalikan,” katanya dengan nada keras.
Menurut Junaidi, dirinya dan beberapa eks pengungsi telah berupaya untuk mengurus harta yang menjadi hak mereka. Namun selalu saja menemui jalan buntu. Bahkan di atas tanah mereka kini telah dibangun rumah-rumah megah. Ia heran, bagaimana bangunan itu bisa berdiri di atas tanah yang masih bertuan.
Junaidi yakin dokumen tanah miliknya dan ratusan kepala keluarga yang menyelamatkan diri bersamanya masih utuh di kantor BPN.
Menurut Junaidi saat itu ratusan pengungsi dari beberapa lokasi dikumpulkan menjadi satu di Anjungan sebelum kemudian banyak yang pindah. Mereka tinggal di sebuah barak yang sengaja dibangun untuk para pengungsi. Hingga kini di barak itu masing tinggal sekitar 100 kepala keluarga (KK). Sedangkan yang lainnya sudah menyebar di beberapa daerah antara lain di Anjungan 110 KK, Galang 38 KK, Rasau Jaya 60 KK dan Peniraman 91 KK. Sejumlah eks pengungsi yang menyebar itu merasa tidak tahan tinggal di barak yang sempit. Kebanyakan di antara mereka tinggal menumpang di rumah saudara dan bahkan ada yang membangun gubuk sebagai tempat tinggal di atas parit.
Seorang remaja laki-laki yang tidak mau menyebutkan namanya mengaku saat kerusuhan terjadi dirinya masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Ia lari menyelamatkan diri ke Anjungan bersama nenek dan lima adiknya. Sedangkan kedua orang tuanya menjadi korban kerusuhan. Ia mengaku sempat sembunyi di dalam hutan sebelum akhirnya bisa sampai ke barak pengungsian di Anjungan.
Kini ia masih tinggal di barak itu bersama 100-an kepala keluarga. “Saya tetap bertahan tinggal di barak itu karena saya tidak punya sanak keluarga. Setiap hari saya harus bekerja mencari kayu dan menjual kepada penampung. Dari uang itulah saya bisa hidup bersama nenek dan adik-adik saya,” urainya.
Ia dan kedua adiknya juga tidak bisa melanjutkan sekolah. Walau bisa berhitung dan membaca Ia mengaku agak susah untuk menulis. “Saya masih kurang lancar menulis, karena waktu itu saya hanya sampai kelas satu SD. Sekarang saya tidak bisa melanjutkan sekolah, tidak ada biaya,” katanya dengan sedih.
Rapik Darsono, S.Sos, salah seorang tokoh pemuda yang juga turut dalam aksi tersebut menyatakan bahwa para eks pengungsi ingin langsung bertemu dengan Gubernur. Selama hampir empat kali mereka datang ke kantor Gubernur, tidak sekalipun bisa bertemu dengan Gubernur. “Kemana saja Gubernur kita ini, sudah 4 kali kami datang ke sini, selalu saja tidak ada. Enak sekali dia jalan-jalan terus dengan uang rakyat, sementara kami dibiarkan menderita. Yang jelas kami akan menunggu sampai Gubernur datang dan mau memenuhi keinginan kami, kalau besok dia datang, kita tunggu sampai besok. Kalau kami harus menginap selama seminggu di sini untuk bisa ketemu dengan Pak Gub, maka kami akan menginap seminggu pula,” paparnya.
Ketika terjadi aksi dorong antara aparat keamanan dan sejumlah pengungsi, tampak seorang lelaki yang dengan penuh emosi terus berteriak dan melepaskan kemejanya. Mukanya memerah. Ketika sebuah teriakan, “Maju….maju terus….kita rebut kembali hak kita.” Massa terus mendesak barikade aparat yang berada di ujung tangga masuk Kantor Gubernur. Aksi dorong itu berlangsung sekitar lima menit, sampai akhirnya lelaki yang membuka baju itu terdorong dan jatuh pingsan.
Seorang perempuan dengan kerudung merah berbunga segera masuk dalam kerumunan dan berteriak. Ia Yanti, istri Selano yang pingsan itu. Ia berteriak dan menangis sejadinya melihat suaminya tak bergerak lagi.
Beberapa menit kemudian Selano sadar setelah diberi tetesan air mineral ke mulutnya. Selano mengaku dadanya sakit dan sesak. “Kenapa saya harus jadi korban dua kali. Dulu tahun 1996 saya sudah jadi korban, semua harta saya sudah habis, sekarang saya disakiti lagi,” ucapnya merintih.
Akhirnya Selano dilarikan ke klinik terdekat. Sang istri hanya bisa menangis melihat suaminya digotong pergi.
Kepada Tribune, Ia mengatakan kalau sampai terjadi apa-apa dengan suaminya, yang jelas Ia akan menuntut. “Kalau suami saya sakit, bagaimana dengan nasib anak-anak kami? Selama ini suami saya kerja mencari cerucuk dan dijual dengan harga Rp.200 per batang,” katanya sambil mengusap air mata.
.
Rabu, 20 Juni 2007
Impian Seorang Trolly Boy
Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak
Seorang pemuda dengan seragam kaos biru berkerah dan celana panjang warna gelap berdiri di depan pintu sebuah mall. Sesekali ia membetulkan kacamata minusnya dan beberapa kali terlihat mengubah posisi tangan. Terkadang ia melipatkan tangannya seperti orang kedinginan, tak lama kemudian menarik posisi tangannya ke belakang badan, mirip posisi istirahatnya pelajar yang tengah mendengarkan pengarahan saat upacara bendera.
Dia, Panca Nugraha usianya baru 20 tahun, tepatnya pada Desember nanti ia akan bertambah usia. Tapi Panca bukanlah seorang satpam atau petugas khusus penyambut tamu. Dia hanyalah seorang trolly boy di sebuah pusat perbelanjaan termegah di kota ini.
Dengan postur tubuh yang kecil atau lebih tepatnya kurus dan tinggi kurang dari 170 centimeter dengan berbekal ijazah SMU, Panca harus puas diterima kerja sebagai trolly boy. Pun waktu itu, ia termasuk karyawan cadangan, yang baru bisa mulai bekerja kalau sudah ada yang bisa digantikannya.
Begitulah keseharian Panca, bekerja 6 hari dalam satu minggu dengan pergantian sift. Jika kebagian sift siang, maka ia harus mulai bekerja dari pukul 08.00 WIB pagi hingga pukul 15.00 pada 3 hari pertama setiap minggu, atau pada pukul 14.00 sampai 22.00 untuk sift malam hari pada tiga hari kedua. Panca dan sesama rekannya mendapatkan jatah off satu hari, dan waktunya tidak harus hari minggu namun disesuaikan dengan pembagian waktu kerja.
“Panca, itu ada trolly di dekat pintu keluar parkir” seseorang dengan perawakan lebih tinggi dan dengan name tag di saku baju bagian kanan dadanya menghampiri Panca seraya menunjuk sebuah trolly yang kepanasan di luar gedung megah itu. Mungkin laki-laki dengan kemeja biru itu koordinator trolly boy atau senior Panca.
“Iya mas”
Kulihat Panca langsung berlari kecil menuju trolly yang terparkir dan langsung mendorongnya. Trolly itu harus ia bawa sampai ke tempat barisan trolly yang terparkir rapi di pintu masuk otomatis Hypermart.
Aku yang memperhatikan Panca mencoba berjalan sejajar dengannya.
“Capek dek?” sapaku
“Biasalah mbak, dorong dan tarik macam gini” sambil tersenyum dan terus berjalan mendorong trollynya.
Setelah kusampaikan niatku untuk bisa bertemu di rumahnya yang aku tau tak jauh dari tempatnya kerja ia segera menyetujuinya
“Gimana kalo nanti sore jak mbak, jam empatan lah. Saya kan pulang jam 2 siang ini,”
Tanpa ba bi bu. langsung ku iyakan.
Panca pun menyusun trolly yang dibawanya dan bergegas kembali ke tempatnya semula. Belum sampai lima langkah ia berjalan balik, seorang ibu hamil yang mendorong trolly berisi belanjaan dan anak laki-lakinya yang kira-kira berusia 3 tahunan memanggilnya.
“Dek, tolong dorongkan trolly saya sampai ke tempat parkir mobil saya ya,” pinta ibu muda itu
“Baik, bu,”
Tangan Panca kulihat dengan cekatan segera memengang besi pegangan trolly dan mendorongnya. Ibu itu berjalan dengan “lucu” karena perut besarnya disamping trollynya. Rupanya mobil ibu itu terparkir tak jauh dari sebuah pohon palm yang ada di halaman Mega Mall itu.
Dari jauh juga aku masih bisa melihat, dengan cekatan Panca memasukan barang belanjaan ibu itu ke bagian bagasi mobil. Sebelum Panca beranjak ibu itu buru-buru mengucapkan terima kasih dan Panca tampak menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.
Studio Musik
Tepat pukul 15.45, aku sampai di rumah Panca, di kompleks kampus Universitas Tanjungpura Pontianak tepatnya di Jalan Tanjungsari No. P.75. Rumah orang tua Panca memang agak sedikit masuk ke dalam. Sebenarnya halamannya cukup luas, namun menjadi terkesan sempit karena ada beberapa jenis tanaman yang tumbuh.
Ada pohon nangka, pisang, dan mangga di sebelah kiri jalan masuk yang menutupi sebuah kandang. Seperti kandang ayam atau sejenis unggas, karena terlihat ada kotak-kotak kayu yang sengaja dibuat seperti tempat bertelur. Tapi tak satupun jenis unggas ada dalam kandang itu. Yang terlihat hanya seekor monyet yang terikat pada tiang tengah kandang.
Di halaman sebelah kanan juga terlihat sebuah kandang berair yang dijalari batang kecipir dan tertutup rimbunnya pelepah pohon kepala dan pisang, ada juga beberapa pot bunga. Di dalam kandang itu ternyata terdapat beberapa ekor kura-kura. Ada yang sudah besar namun beberapa diantaranya masih kecil.
Katanya di dalam kandang itu juga dulu ada seekor biawak, tapi kemudian lepas dan tidak bisa ditangkap lagi.
Di halaman rumah tampak terparkir beberapa motor, dan terlihat beberapa remaja tanggung duduk di kursi yang ada di teras rumah. Dari dalam sebuah ruangan terdengar suara musik.
Aku tidak tahu alunan lagu apa yang sedang dinyanyikan oleh seorang vokalisnya. Kulihat Panca keluar dari sebuah ruangan yang saat pintu itu terbuka, suara musik yang keras menyeruak keluar bak air bah dan kembali mengecil setelah pintu di tutup. Rupaya ruangan itu adalah sebuah studio musik miliknya. Setelah berbasa-basi, kami pun langsung berbincang.
“Ini studio musik saya mbak, kalau misalnya teman-teman mbak ada yang suka musik dan ingin mencoba mengasah bakatnya, boleh dibawa kesini. Gak mahal kok mbak, hanya Rp.15.000 per jamnya,” jelas Panca berusaha mempromosikan studio musiknya.
Aku tersenyum, “Insya Allah deh,” jawabku singkat.
Ternyata studio musik itu menjadi tempat kedua bagi Panca untuk mendapatkan uang. Studio itu baru dioperasikan beberapa bulan ini, dan segala sesuatunya coba ia usahakan sendiri. Dari mulai membuat ruangan agar kedap suara, seperangkat alat musik walau belum lengkap termasuk pendingin ruangan.
Untuk membeli semua alat itu, Panca harus meminjam uang puluhan juta dari sebuah koperasi simpan pinjam. Dan karena itu juga Panca harus mengembalikan pinjamannya dalam bentuk cicilan dengan besaran Rp. 1.000.000 tiap bulannya selama 3 tahun.
Tentu bukan jumlah yang sedikit, dari seorang Panca yang bekerja sebagai trolly boy. namun ia yakin sanggup memenuhi kewajibannya itu.
Panca anak kelima dari 6 bersaudara itu ternyata memang mempunyi bakat di bidang seni. Beberapa alat musik mampu dengan bagus ia mainkan, bahkan ia juga pernah menjadi guru private musik dari beberapa pelajar. Panca cukup terdukung oleh dua saudaranya yang juga mempunyai hobby yang sama. Apalagi orang tuanya memberikan ruang yang bebas bagi anak-anaknya untuk berekspresi.
“Cita-cita saya gak muluk-muluk mbak, saya hanya ingin membantu para remaja yang punya bakat dan hobby dengan musik untuk menyalurkannya, untung-untung kalau bisa melahirkan kelompok band besar dan punya nama di Pontianak ini,” katanya.
Cita-cita panca memang tidak berlebihan, hal ini terbukti dari lahirnya beberapa kelompok band sekolah yang dimotori oleh para mantan muridnya. Sebut saja kelompok band di SMP Al Azhar. Kendati belum punya nama besar atau menang di event-event musik yang diadakan di Kota Pontianak, tapi setidaknya para remaja tanggung itu sudah berani dan bisa mengekspresikan kemampuannya.
Ketika SMA dulu Panca dan group bandnya di SMU Mujahidin pernah beberapa kali menyabet juara dari beberapa event. Bahkan pernah terpilih untuk mengikuti event di luar Kalimantan Barat. Namun, gagal karena menurutnya ada permainan yang tidak fair.
“Kami-kami ini hanya anak-anak yang punya kemauan dan sedikit kemampuan mbak, jadi ya tidak bisa berbuat banyak kalau sudah ketemu yang main uang begitu mbak, tak bisa apa-apa,” jelasnya.
Panca dan abangnya juga kerap diminta main organ tunggal pada sebuah pesta perkawinan atau manggung di beberapa café. Namun, tentu saja dengan honor yang masih sangat kecil. Biasanya kalau sudah menerima honor begitu, Panca pasti agak menyisihkan sebagian dan memberikanya kepada ibunya.
“Membantu orang tua itu kan harus mbak, kalau memang tidak bisa ya seadanya saja,” ujarnya sambil membetulkan letak kacamatanya.
Senja mulai tiba, sinar merah matahari di ufuk Barat menimbulkan pendar-pendar yang menyilaukan. Panca Nugroho, remaja yang coba meraih masa depan dan peruntunganya lewat musik, tanpak dahaga dengan angan-angannya. Sayang ia tidak punya cukup banyak kesempatan untuk menunjukan kemampuannya seperti kebanyakan musisi-musisi lain yang telah berhasil dan menjadi besar, kendati berasal dari kota kecil seperti Pontianak ini. □
Endang Kusmiyati
Borneo Tribune, Pontianak
Seorang pemuda dengan seragam kaos biru berkerah dan celana panjang warna gelap berdiri di depan pintu sebuah mall. Sesekali ia membetulkan kacamata minusnya dan beberapa kali terlihat mengubah posisi tangan. Terkadang ia melipatkan tangannya seperti orang kedinginan, tak lama kemudian menarik posisi tangannya ke belakang badan, mirip posisi istirahatnya pelajar yang tengah mendengarkan pengarahan saat upacara bendera.
Dia, Panca Nugraha usianya baru 20 tahun, tepatnya pada Desember nanti ia akan bertambah usia. Tapi Panca bukanlah seorang satpam atau petugas khusus penyambut tamu. Dia hanyalah seorang trolly boy di sebuah pusat perbelanjaan termegah di kota ini.
Dengan postur tubuh yang kecil atau lebih tepatnya kurus dan tinggi kurang dari 170 centimeter dengan berbekal ijazah SMU, Panca harus puas diterima kerja sebagai trolly boy. Pun waktu itu, ia termasuk karyawan cadangan, yang baru bisa mulai bekerja kalau sudah ada yang bisa digantikannya.
Begitulah keseharian Panca, bekerja 6 hari dalam satu minggu dengan pergantian sift. Jika kebagian sift siang, maka ia harus mulai bekerja dari pukul 08.00 WIB pagi hingga pukul 15.00 pada 3 hari pertama setiap minggu, atau pada pukul 14.00 sampai 22.00 untuk sift malam hari pada tiga hari kedua. Panca dan sesama rekannya mendapatkan jatah off satu hari, dan waktunya tidak harus hari minggu namun disesuaikan dengan pembagian waktu kerja.
“Panca, itu ada trolly di dekat pintu keluar parkir” seseorang dengan perawakan lebih tinggi dan dengan name tag di saku baju bagian kanan dadanya menghampiri Panca seraya menunjuk sebuah trolly yang kepanasan di luar gedung megah itu. Mungkin laki-laki dengan kemeja biru itu koordinator trolly boy atau senior Panca.
“Iya mas”
Kulihat Panca langsung berlari kecil menuju trolly yang terparkir dan langsung mendorongnya. Trolly itu harus ia bawa sampai ke tempat barisan trolly yang terparkir rapi di pintu masuk otomatis Hypermart.
Aku yang memperhatikan Panca mencoba berjalan sejajar dengannya.
“Capek dek?” sapaku
“Biasalah mbak, dorong dan tarik macam gini” sambil tersenyum dan terus berjalan mendorong trollynya.
Setelah kusampaikan niatku untuk bisa bertemu di rumahnya yang aku tau tak jauh dari tempatnya kerja ia segera menyetujuinya
“Gimana kalo nanti sore jak mbak, jam empatan lah. Saya kan pulang jam 2 siang ini,”
Tanpa ba bi bu. langsung ku iyakan.
Panca pun menyusun trolly yang dibawanya dan bergegas kembali ke tempatnya semula. Belum sampai lima langkah ia berjalan balik, seorang ibu hamil yang mendorong trolly berisi belanjaan dan anak laki-lakinya yang kira-kira berusia 3 tahunan memanggilnya.
“Dek, tolong dorongkan trolly saya sampai ke tempat parkir mobil saya ya,” pinta ibu muda itu
“Baik, bu,”
Tangan Panca kulihat dengan cekatan segera memengang besi pegangan trolly dan mendorongnya. Ibu itu berjalan dengan “lucu” karena perut besarnya disamping trollynya. Rupanya mobil ibu itu terparkir tak jauh dari sebuah pohon palm yang ada di halaman Mega Mall itu.
Dari jauh juga aku masih bisa melihat, dengan cekatan Panca memasukan barang belanjaan ibu itu ke bagian bagasi mobil. Sebelum Panca beranjak ibu itu buru-buru mengucapkan terima kasih dan Panca tampak menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.
Studio Musik
Tepat pukul 15.45, aku sampai di rumah Panca, di kompleks kampus Universitas Tanjungpura Pontianak tepatnya di Jalan Tanjungsari No. P.75. Rumah orang tua Panca memang agak sedikit masuk ke dalam. Sebenarnya halamannya cukup luas, namun menjadi terkesan sempit karena ada beberapa jenis tanaman yang tumbuh.
Ada pohon nangka, pisang, dan mangga di sebelah kiri jalan masuk yang menutupi sebuah kandang. Seperti kandang ayam atau sejenis unggas, karena terlihat ada kotak-kotak kayu yang sengaja dibuat seperti tempat bertelur. Tapi tak satupun jenis unggas ada dalam kandang itu. Yang terlihat hanya seekor monyet yang terikat pada tiang tengah kandang.
Di halaman sebelah kanan juga terlihat sebuah kandang berair yang dijalari batang kecipir dan tertutup rimbunnya pelepah pohon kepala dan pisang, ada juga beberapa pot bunga. Di dalam kandang itu ternyata terdapat beberapa ekor kura-kura. Ada yang sudah besar namun beberapa diantaranya masih kecil.
Katanya di dalam kandang itu juga dulu ada seekor biawak, tapi kemudian lepas dan tidak bisa ditangkap lagi.
Di halaman rumah tampak terparkir beberapa motor, dan terlihat beberapa remaja tanggung duduk di kursi yang ada di teras rumah. Dari dalam sebuah ruangan terdengar suara musik.
Aku tidak tahu alunan lagu apa yang sedang dinyanyikan oleh seorang vokalisnya. Kulihat Panca keluar dari sebuah ruangan yang saat pintu itu terbuka, suara musik yang keras menyeruak keluar bak air bah dan kembali mengecil setelah pintu di tutup. Rupaya ruangan itu adalah sebuah studio musik miliknya. Setelah berbasa-basi, kami pun langsung berbincang.
“Ini studio musik saya mbak, kalau misalnya teman-teman mbak ada yang suka musik dan ingin mencoba mengasah bakatnya, boleh dibawa kesini. Gak mahal kok mbak, hanya Rp.15.000 per jamnya,” jelas Panca berusaha mempromosikan studio musiknya.
Aku tersenyum, “Insya Allah deh,” jawabku singkat.
Ternyata studio musik itu menjadi tempat kedua bagi Panca untuk mendapatkan uang. Studio itu baru dioperasikan beberapa bulan ini, dan segala sesuatunya coba ia usahakan sendiri. Dari mulai membuat ruangan agar kedap suara, seperangkat alat musik walau belum lengkap termasuk pendingin ruangan.
Untuk membeli semua alat itu, Panca harus meminjam uang puluhan juta dari sebuah koperasi simpan pinjam. Dan karena itu juga Panca harus mengembalikan pinjamannya dalam bentuk cicilan dengan besaran Rp. 1.000.000 tiap bulannya selama 3 tahun.
Tentu bukan jumlah yang sedikit, dari seorang Panca yang bekerja sebagai trolly boy. namun ia yakin sanggup memenuhi kewajibannya itu.
Panca anak kelima dari 6 bersaudara itu ternyata memang mempunyi bakat di bidang seni. Beberapa alat musik mampu dengan bagus ia mainkan, bahkan ia juga pernah menjadi guru private musik dari beberapa pelajar. Panca cukup terdukung oleh dua saudaranya yang juga mempunyai hobby yang sama. Apalagi orang tuanya memberikan ruang yang bebas bagi anak-anaknya untuk berekspresi.
“Cita-cita saya gak muluk-muluk mbak, saya hanya ingin membantu para remaja yang punya bakat dan hobby dengan musik untuk menyalurkannya, untung-untung kalau bisa melahirkan kelompok band besar dan punya nama di Pontianak ini,” katanya.
Cita-cita panca memang tidak berlebihan, hal ini terbukti dari lahirnya beberapa kelompok band sekolah yang dimotori oleh para mantan muridnya. Sebut saja kelompok band di SMP Al Azhar. Kendati belum punya nama besar atau menang di event-event musik yang diadakan di Kota Pontianak, tapi setidaknya para remaja tanggung itu sudah berani dan bisa mengekspresikan kemampuannya.
Ketika SMA dulu Panca dan group bandnya di SMU Mujahidin pernah beberapa kali menyabet juara dari beberapa event. Bahkan pernah terpilih untuk mengikuti event di luar Kalimantan Barat. Namun, gagal karena menurutnya ada permainan yang tidak fair.
“Kami-kami ini hanya anak-anak yang punya kemauan dan sedikit kemampuan mbak, jadi ya tidak bisa berbuat banyak kalau sudah ketemu yang main uang begitu mbak, tak bisa apa-apa,” jelasnya.
Panca dan abangnya juga kerap diminta main organ tunggal pada sebuah pesta perkawinan atau manggung di beberapa café. Namun, tentu saja dengan honor yang masih sangat kecil. Biasanya kalau sudah menerima honor begitu, Panca pasti agak menyisihkan sebagian dan memberikanya kepada ibunya.
“Membantu orang tua itu kan harus mbak, kalau memang tidak bisa ya seadanya saja,” ujarnya sambil membetulkan letak kacamatanya.
Senja mulai tiba, sinar merah matahari di ufuk Barat menimbulkan pendar-pendar yang menyilaukan. Panca Nugroho, remaja yang coba meraih masa depan dan peruntunganya lewat musik, tanpak dahaga dengan angan-angannya. Sayang ia tidak punya cukup banyak kesempatan untuk menunjukan kemampuannya seperti kebanyakan musisi-musisi lain yang telah berhasil dan menjadi besar, kendati berasal dari kota kecil seperti Pontianak ini. □
Langganan:
Postingan (Atom)